Jumat, 18 Oktober 2013

LANDASAN FILSAFAT


A. Ontologi
 Pembicaraan tentang Ontologi berkisar pada persoalan bagaimanakah kita menerangkan tentang hakekat dari segala sesuatu? Perbincangan tentang hakekat berarti tentang kenyataan yang sebenarnya, bukanlah kenyataan semu ataupun kenyataan yang mudah berubah-ubah. Para filosof terutama era klasik dan pertengahan berbicara mengenai pengertian apa itu Ontologi? Secara etimologi, Ontologi berasal dari kata Yunani, On=being, dan Logos=logic. Sehingga Ontologi dapat dipahami sebagai ilmu yang membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ia berusaha mencari inti dari setiap kenyataan. (Muhajir, 2001: hlm. 57)
Bagi Sidi Gazalba Ontologi adalah dasar dari Filsafat yang membahas tentnag sifat dan keadaan terakhir dari suatu kenyataan. Sebab itulah Ontologi disebut pula sebagai ilmu hakikat. Sementara itu, Amtsal Bakhtiar menyimpulkan bahwa Ontologi tidak lain adalah “Ilmu yang membahastentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak” (Bakhtiar, 2009: hlm.134)
Dalam perbincangannya, seringkali Ontologi dihubungkan dengan Metafisika, yakni cabang ilmu dalam filsafat yang berbicara mengenai keberadaa (being) dan eksistensi (existence). Untuk memperjelas keberadaan keduanya, Christian Wolf, sebagaimana dikutip oleh Rizal Mustansyir, membagi Metafisika menjadi dua, yakni Metafisika Umum atau Ontologi yang membahas tentang hal “Ada” (being) dan Metafisika khusus yaitu Psikologi (bicara hakikat manusia), Kosmologi (bicara asal-usul semesta) dan Teologi (bicara keberadaan Tuhan). (Mustansyir dan Munir, 2009: hlm. 12)
Pemikiran Ontologi (Metafisika Umum) yang berkisar pada hakikat dari yang Ada, telah mengelompokkan para filosof dalam beberapa kelompok, di antaranya;
Monisme; yang mempercayai bahwa hakikat dari segala sesuatu yang ada adalah satu saja, baik yang asa itu berupa materi maupun ruhani yang menjadi sumber dominan dari yang lainnya. Para filosof pra-Socrates seperti Thales, Demokritos, dan Anaximander termasuk dalam kelompok Monisme, selain juga Plato dan Aristoteles. Sementara filosof Modern seperti I. Kant dan Hegel adalh penerus kelompok Monisme, terutama pada pandangan Idealisme mereka.
 b. Dualisme; kelompok ini meyakini sumber asal segala sesuatu terdiri dari dua hakikat, yang spirit dan jasad. Asal yang materi berasal dari yang ruh, dan yang ruh berasal dari yang materi. Descartes adalah contoh filosof Dualis dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).
Pluralisme; kelompok ini berpandangan bahwa hakikat kenyataan ditentukan oleh kenyataan yang jamak/berubah-ubah. Filosof Klasik, Empedokles, adalah tokoh Pluralis yang mengatakan bahwa kenyataan tersusun oleh banyak unsur (tanah, air, api, dan udara). Tokoh Pragmatisme, William James juga seorang Pluralis yang berpendapat karena pengalaman kita selalu berubah-ubah, maka tidak ada kebenaran hakiki kecuali kebenaran-kebenaran yang selalu diperbarui oleh kebenaran selanjutnya.
 Nihilisme; kelompok Nihilis diprakarsai oleh kaum Sofis di era Klasik. Mereka menolak kepercayaan tentang realitas hakiki. Realitas, menurut mereka adalah tunggal sekaligus banyak, terbatas sekaligus tidak terbatas, dan tercipta sekaligus tidak tercipta. Selain tokoh Sofis, Friedrich Nietzsche adalah tokoh filosof Eropa yang sangat bernuansa Nihilisme, hingga ia meniadakan keberadaan Tuhan “Allah sudah mati”
e. Agnostisisme; pada intinya Agnostisisme adalah paham yang mengingkari bahwa manusia mampu mengetahui hakikat yang ada baik yang berupa materi ataupun yang ruhani. Aliran ini juga menolak pengetahuan manusia tentang hal yang transenden. Contoh paham Agnostisisme adalah para filosof Eksistensialisme, seperti Jean Paul Sartre yang juga seorang Ateis. Sartre menyatakan tidak ada hakikat ada (being) manusia, tetapi yang ada adalah keberadaan (on being)-nya. (Bakhtiar, 2009: hlm. 135-48)
B. Epistemologi
 Epistemologi adalah landasan ilmu yang mempersoalkan hakikat dan ruang lingkup dari pengetahuan. Ia berasal dari istilah Yunani “episteme” yang berarti pengetahuan dan “logos” yang artinya teori; jadi epistemologi secara terminologi dapat dipahami sebagai teori tentang pengetahuan. Epistemologi mempertanyakan berbagai persoalan seputar pengetahuan, seperti: Apa sumber pengetahuan dan dari mana pengetahuan itu didapatkan? Apa sifat dasar dari pengetahuan? Serta apakah pengetahuan itu benar, atau bagaimanakah kita membedakan yang benar dari pengetahuan salah?
Secara general, aliran dalam Epistemologi terbagi menjadi dua, pertama Rasionalisme atau Idealisme, dan kedua Empirisme atau Realisme. Yang pertama menekankan pada pentingnya peran ‘akal’ dan ‘idea’ sebagai sumber ilmu pengetahuan, sedangkan panca indera dinomorduakan. Sedangkan aliran kedua berbicara tentang penekanan ‘indera’ dan ‘pengalaman’ sebagai sumber sekaligus alat dalam memperoleh pengetahuan. Kedua kelompok ini saling bersitegang, hingga munculnya aliran ketiga, yaitu Rasionalisme Kritis yang menekankan adanya kategori sintesis yakni perpaduan antara kedua sumber pengetahuan (akal dan rasio) dalam sebuah ilmu pengetahuan. (Abdullah,dkk, 1995)
Obyek Material dari Epistemologi adalah pengetahuan itu sendiri, sedangkan hakikat pengetahuan adalah obyek formal yang menjadi pembahasan inti dari Epistemologi. Secara umum dapat dikatakan bahwa epistemologi membahas apa yang disebut sebagai pengetahuan dan ‘kebenaran ilmiah’ dari pengetahuan tersebut, yang membedakannya dengan pengetahuan karena ‘kepercayaan’, yang disebut Mustansyir sebagai pengetahuan nir-ilmiah.
Dari karakteristik dasarnya, suatu pengetahuan dapat dibedakan menjadi setidaknya empat pengetahuan, yakni:
Pengetahuan indrawi; adalah pengetahuan yang didapatkan melalui indera (sense) atau pengalaman (empiric).
 Pengetahuan akal budi; adalah pengetahuan yang didapatkan melalui pendasaran rasio atau pemikiran.
 Kedua pengetahuan diatas, disebut sebagai dasar dari pengetahuan ilmiah. Berbeda dengan keduanya, dua pengetahuan terakhir seringkali dipertanyakan kadar ke-ilmiah-an nya. Yakni:
Pengetahuan intuitif; pengetahuan yang didapatkan dari kesadaran akan pengalaman langsung, melalui intuisi. Beberapa filosof Islam menekankan pengetahuan ini, seperti Ilmu Hudluri a-la Suhrawardi dan Mulla Sadra (Iran)
 Pengetahuan Kepercayaan; adalah pengetahuan yang didapatkan dari otoritas atau profesionalitas seorang tokoh atau sekelompok orang. Pengetahuan yang didapatkan dari doktrin agama biasanya dimasukkan ke dalam pengetahuan jenis ini. (Mustansyir dan Munir, 2009)
 C. Aksiologi
 Aksiologi, secara etimologi berasal dari kata axios yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Sehingga Aksiologi dapat dipahami sebagai ilmu yang menjadikan kodrat, kriteria, dan status metafisik dari nilai sebagai problem bahasannya. Nilai yang dimaksud dalam hal ini adalah “Sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai” (Bakhtiar, 2009) Dengan demikian, obyek formal dari Aksiologi adalah nilai itu sendiri.
Dari pengertian terminologi di atas, pembahasan Aksiologi terdiri atas beberapa faktor penting di dalamnya.
Pertama, Aksiologi membahas tentang kodrat suatu nilai, atau dengan kata lain pertama-tama Aksiologi membicarakan apa hakikat terdalam dari suatu nilai. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, para filosof memiliki jawaban beragam. Misalnya, Spinoza menganggap bahwa nilai berasal dari ‘keinginan’, Immanuel Kant melihat nilai berasal dari keinginan akal budi murni, sedangkan Hobbes berujar bahwa nilai adalah entitas yang didasarkan atas keinginan manusia untuk menang (survival of the fittest) sedangkan kaum Pragmatis seperti William James melihat nilai berasal dari relasi antara sesuatu (hal/benda) dengan tujuan praktis kehidupan manusia.
Kedua, Aksiologi memperdebatkan perbedaan jenis dari suatu nilai. Secara umum, pemikiran tentang perbedaan jenis membedakan nilai dari yang intrinsik, yaitu nilai yang berada di dalam diri suatu benda (atau peristiwa) dan nilai yang instrumental, yaitu nilai yang muncul hanya karena entitas/sifat tersebut dilekatkan pada suatu benda (atau peristiwa). Secara sederhana, keduanya dapat dimisalkan pada nilai alat pemotong dari sebuah pisau disebut sebagai nilai intrinsik, sedangkan alat untuk mempertahankan diri dari serangan musuh adalah nilai instrumental yang hanya akan muncul jika dilekatkan pada sebuah pisau.
Ketiga, Aksiologi juga berbicara pada kriteria dari suatu nilai, yakni kadar ukuran yang digunakan untuk meletakkan nilai pada suatu benda atau peristiwa. Bagi kaum Positivis kadar keobjektifan suatu tindakan atau suatu pemikiran menjadi ukuran nilai suatu peristiwa. Sedangkan seorang Hedonist melihat kesenangan manusia adalah nilai tertinggi yang ingin didapatkan manusia. Sedangkan seorang penganut intuitif melihat pengalaman langsung sebagai kadar paling tinggi dari sebuah tindakan manusia.
Terakhir, Aksiologi berbicara mengenai status metafisik suatu nilai. Yakni bagaimana hubungan antara nilai dan fakta yang diamati. Dalam hal ini terdapat tiga perbedaan pandangan tentang nilai.
Subjektivisme, yang berpandangan bahwa suatu nilai berhubungan erat dengan pengalaman manusia. Contohnya adalah pendapat kaum Hedonis yang berpandangan jika seorang konglomerat menghabiskan uangnya dianggap tepat (atau baik) selama itu bermanfaat langsung dalam memenuhi rasa senangnya.
 Obyektifisme Logis; berpandangan bahwa hakikat suatu nilai terdapat pada konsekuensi logisnya, walaupun tanpa disertai hubungan langsung dengan suatu pengalaman. Misalnya, menghabiskan uang (milik sendiri) bagi kesenangan hidupnya, pada hakikatnya adalah buruk. Meski tanpa menghambur-hamburkan uang tersebut, seorang konglomerat dapat memahami secara logis bahwa tindakan tersebut adalah buruk.
 Obyektifisme Metafisik; melihat suatu nilai sebagai bagian integral dari kenyataan metafisik. Bagi penganut Objektifis Metafisik, menghambur-hamburkan uang (walau milik sendiri) hanya demi kesenangan semu adalah semata-mata tindakan yang buruk. (Mustansyir dan Munir, 2009)
 Dalam perjalanannya, Aksiologi atau ilmu tentang nilai terbagi menjadi beberapa disiplin, yakni Etika dan Estetika. Beberapa filosof memasukkan pula Logika sebagai bagian dari Aksiologi. Etika adalah cabang Aksiologi yang mengkhususkan pembahasan pada asas nilai baik dan buruk. Etika disebut pula Filsafat Moral. Sedangkan Estetika adalah bidang Aksiologi yang mengkhususkan diri pada pembahasan asas-asas nilai indah dan yang tidak indah (buruk). Sedangkan Logika memfokuskan obyek formalnya pada hal yang salah dan benar dari suatu pernyataan.
by