Rabu, 16 Januari 2013

MAKALAH GOOD CORPORATE GOVERNANCE


BAB I
PENDAHULUAN

I.                  LATAR BELAKANG
Tata kelola korporat menjadi menarik perhatian karena banyak para ahli yang berpendapat bahwa kelemahan dalam tata kelola korporat merupakan salah satu sumber utama kerawanan ekonomi yang menyebabkan buruknya perekonomian beberapa Negara Asia yang terkena krisis financial pada tahun 1997 dan 1998.
Proposisi kepemilikan pihak publik untuk perusahaan-perusahaan yang listed di Bursa Efek Jakarta (BEJ) masih sangan terbatas, yang pada tahun 1997 hanya sekitar 29,7%. Hal ini berarti bahwa para pendiri perusahaan-perusahaan tersebu masih menjadi pemegang saham pengendali. Secara umum fenomena adanya pemegang saham pengendali dan pemegang saham minoritas (yang dapat menimbulkan agency problems) dijumpai disebagian besar peusahaan-perusahaan tersebut.
Dalam konteks administrasi pemerintah, fokus  analisis tata kelola adalah perdebatan mengenai keterbatasan pengendalian oleh pemerintah (Kuncoro, 2004).
Berdasarkan kajian-kajian tersebut di atas, maka penulis ingin mengetahui lebih jauh tentang tata kelola korporat yang baik.


II.               RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan tata kelola (Governance)?
2.      Bagaiamana  tentang tata kelola yang kuat dan yang lemah?
3.      Bagaimana analisis berbasis biaya transaksi?
4.      Bagaimana  tata kelola korporat di lingkungan BUMN?
5.      Bagaimana tata kelola di era otonomi daerah?
6.      Apa penyebab kegagalan tata kelola?

III.           TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dan manfaat  dari penulisan makalah ini, yaitu sebagai berikut:
1.      Menjelaskan apa yang dimaksud dengan tata kelola (Governance)
2.      Menerangkan tentang tata kelola yang kuat dan yang lemah
3.      Menguraikan analisis berbasis biaya transaksi
4.      Mendeskripsikan tata kelola korporat di lingkungan BUMN
5.      Memahami tata kelola di era otonomi daerah
6.      Menjelaskan penyebab kegagalan tata kelola



BAB II
PEMBAHASAN
TATA KELOLA KORPORAT YANG BAIK
(GOOD CORPORATE GOVERNANCE)

I.                   PENGERTIAN GOVERNANCE
Pengertian “governance”  amat beragam. Pada dasarnya ia diartikan sebagai tata kelola yang berhubungan dengan interaksi antara pemerintah dengan masyarakat. Sedangkan “ governing” berarti semua kegiatan sosial, ekonomi, ploitik, dan adminstratif yang dilakukan sebagai upaya untuk mengarahkan, mengendlikan, mengawasi atau mengelola masyarakat.
FCGI (Forum for Corporate Governance in Indonesia) mendefinisikan tata kelola korporat (Corporate Governance) sebagai brerikut (Tjager et al, 2003:25-26)
“seperangkat pengaturan yang mengatur hubungan antara pemegang, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengendalikan perusahaan. Tujuan tata kelola korporat ialah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).”


Tata kelola korporat dapat didefinisikan dalam perspektif sempit (perspektif stakeholders), yaitu “struktur dimana manajer pada berbagai tingkat organisasi dikendalikan melalui dewan direksi, struktur yang berkaitan, insentif eksekutif dan skema lainnya” (Donaldson & Davis dalam Tjager, 2003:26).

II.                TATA KELOLA YANG LEMAH vs TATA KELOLA YANG KUAT
Semua pemerintah di Negara-Negara Asia Tenggara dan Asia Timur memulai proses industrialisasi dari rezim otokrasi, kemudian secara bertahap bergerak kearah yang lebih demokrtis. Indonesia mengalami transisi dari rezim yang tidak demokratis menuju rezim yang semakin demokratis. Tingkat demokrasi di Indonesia dinilai sudah bergerak dari A ke C, artinya dunia mengakui adanya perubahan penting dari rezim yang tidak demokratis menuju sistem yang lebih demokratis. Namun dilihat dari sisi bahwa tata kelola, harus diakui tata kelola pemerintah Indonesia masih tergolong lemah dan belum banyak yang berubah.
Lemahnya tata kelola menimbulkan dampak sebagai berikut (WB, 2001)
1.      Kaum miskin tidak mendapatkan akses pelayanan publik yang dibutuhkan karena selalu berkompromi dengan birokrasi yang korup.
2.      Para investor takut dan enggan menanam modal di Indonesia karena ketidakmampuan sistem peradilan untuk melaksanakan kontrak, meningkatnya kerusuhan, dan tingkat pelanggaran hukum dan keamanan.
3.      Langkanya sumber daya pemerintah ternyata hilang karena sistem manajemen keuangan dan pengadaan barang yang tidak transparan, manipulasi dan banyak kebocoran.
Dalam praktiknya tidak mudah untuk memilih dan membedah mengapa yang terjadi adalah tata kelola yang lemah dan kuat. Tabel berikut mencoba mengurai kompleksitas, dinamika dan keanekaragaman tata kelola (Kickert, 1993: Bab 19) yang tergantung dari interaksi antara pemerintah dan masyarakat.
Kompleksitas, Dinamika, dan Keanekaragaman Tata Kelola

do-it-alone ”government”
“co” -arrangement
Kompleksitas
·         Hubungan sebab-akibat
·         Ketergantungan unilateral
·         Dibagi dalam hal unit atau disiplin
·         Keseluruhan dan sebagian
·         Saling ketergantungan multidimensional
·         Menangani jaringan komunikasi
Dinamika
·         Lineritas dan produktabilitas
·         Kontinu dan berubah-ubah
·         Penggunaan mekanisme feed-forward
·         Pola nonlinier dan Chaos.
·         Tidak kontinu dan tidak berubah-ubah
·         Penggunaan mekanisme feed-while/feed-back
Keanekaragaman
·         Pendekatan/analisis berdasarkan rata-rata
·         From rules to execption
·         Analisis situasional dan diskrit
·         from exception to rules

III.             ANALISIS BERBASIS BIAYA TRANSAKSI
Hadiah Nobel dalam Ilmu Ekonomi tahun 1991 kepada Ronald Coase merupakan tonggak penting pengakuan Internasional terhadap jasa-jasanya dalam mengembangkan Analisis Biaya Transaksi (ABT). Ciri sentral analisis coase dapat disimak dari definisinya mengenai biaya transaksi berikut ini (Coase, 1960):
Untuk melakukan suatu transaksi pasar,   diperlukan identifikasi dengan siapa seseorang bertransaksi, menginformasikan kepada masyarakat bahwa seseorang ingin berusaha beserta persyaratan yang dipenuhi, melakukan negosiasi hingga penawaran, menulis kontrak, melakukan pemeriksaan yang diperlukan untuk meyakinkan bahwa syarat-syarat kontrak telah diikuti dan sterusnya.
Coase percaya bahwa biaya transaksi tidak hanya mempengaruhi penyususnan kontrak tetapi juga mempengaruhi barang dan jasa yang diproduksi (Coase, 1995). Argumennya, adanya biaya transaksi akan mendorong munculnya perusahaan. Pertanyaan “bagaimana memproduksi” dan “apa yang diproduksi”mencakup pertimbangan baiaya transaksi.
Kelemahan dari analisis Coase telah diidentifikasi oleh banyak penulis, diantaranya oleh Dietrich (Dietrich, 1994: 16-18), yaitu sebagai berikut:
1.      Masalah sentralnya adalah kurangnya kerangka teoritis yang mendalam
2.      Analisis Coase dinilai tidak konsisten karena perusahaan dan pasar merupakan metode alternatif dalam mengoordinasikan produksi.
Ciri utama perusahaan adalah manajemen proses produksi dan distribusi, sedangkan pasar tidak dapat memproduksi namun hanya menghubungkan antara unit produksi dan konsumsi.
Tesis utama paradigma ABT adalah bahwa ada berbagai cara mengorganisasi transaksi, ini diasosiasikan dengan berbagai biaya (Knudsen, 1995: 198). Williamson mengikuti definisi Arrow mengenai biaya transaksi sebagai biaya menjalankan sistem ekonomi. Secara lebih khusus, biaya transaksi mencakup baik biaya langsung (direct costs) dari menjaga hubungan dan kemungkinan biaya opportunitas (opportunity costs) dari terbuatnya keputusan yang inferior (Williamson, 1990; Williamson, 1996). Yang pertama atau sering dibuat biaya transaksi belum terjadi (ex-ante transaction costs), terdiri atas biaya menyusun konsep kesepakatan, negosisi dan penjagaan (Williamson, 1985: 20). Yang kedua merupakan beiaya transaksi yang telah terjadi (ex-post transaction costs) yang meliputi:
1.      Biaya salah adaptasi (maladaptation costs) yang terjadi ketika transaksi menyimpang dari yang disyaratkan.;
2.      Biaya tawar-menawar (haggling costs) yang terjadi bila upaya bilateral dilakukan untuk mengoreksi kesalahan yang terjadi;
3.      Biaya penyusunan dan pengelolaan (set up and running costs) yang diasosiasikan denga struktur tata kelola di mana perselisihan diidentifikasi;
4.      Biaya pengikatan (bonding costs) yang mempengaruhi penjagaan komitmen (Williamson, 1985: 21).
Biaya-biaya di atas terkait langsung dengan spesifik asset, ketidak pastian lingkungan, dan ketidakpastian perilaku.
IV.             TATA KELOLA KORPORAT DI LINGKUNGAN BUMN
Berkaitan dengan good coporate governance (GCG) di lingkungan BUMN, penerpannya merujuk pada Keputusan Menteri BUMN No. 117/M-MBU/2002. Keputusan yang bersifat sektoral seperti ini termasuk berbagai peraturan Bapepam untuk emiten-emiten di pasar modal tidak memiliki pertentnagan dengan kerangka hukum.
Penerapan GCG dalam suatu organisasi dinilai merupakan suatu usaha untuk membangun budaya korporasi yang baru, sehingga tanpa kepemimpinan oranisasi yang memadai akan sangat sulit mengimplementasikan GCG.
Penerapan GCG bukanlah suatu opsi melainkan sebuah kaharusan bagi BUMN Indonesia. Penerapan GCG di BUMN akan bermanfaat baik bagi Negara dalam hal menurunkan tingkat country risk maupun bagi setiap BUMN dalam hal meningkatkan nilai perusahaan.
Penerapan GCG berarti penolakan terhadap nilai-nilai, keyakinan, asumsi-asumsi dasar lama yang berciri tidak adanya transparansi, tidak adanya kewajaran (fairness), tidak adanya akuntanbilitas dan tanggung jawab yang jelas.
Pada bulan Mei 2001 para pejabat dan staf pemerintah pusat dan daerah meyetujui bebrapa prinsip tata kelola yang baik yang perlu diterapkan di Indonesia. Prinsip tersebut adalah (Mishra, et al. 2001: 23):
1.      Partisipasi
2.      Penegakan hukum
3.      Transparansi
4.      Responsif
5.      Pemerataan
6.      Visi stratejik
7.      Efektivitas dan Efisiensi
8.      Profesionalisme
9.      Akuntabilitas
10.  Pengawasan



V.                TATA KELOLA DI ERA OTONOMI DAERAH
Salah satu isu yang banyak dibahas dalam era otonomi daerah adalah tata kelola yang baik diimplementasikan dalam praktik birokrasi di Indonesia. Dalam implementasi otonomi daerah diberbagai daerah di Indonesia, beberapa kecenderungan yang menyedihkan adalah:
1.      Kuatnya semangat memungut retribusi, pajak maupun pungutan lainnya dengan kurang memperhatikan pelayanan publik secara optimal.
2.      Rendahnya akuntabilitas pemerintah daerah maupun DPRD
(Syaukani, Gaffar, & Rasyid, 2002). Praktik bad governance, tata kelola yang buruk, lebih mencuat kepermukaan dan menjadi wacana publik.
Utomo (2005, 16-17) melihat tata kelola dari sisi makro dan mikro. Tata kelola di dalam rangka otonomi secara makro menghendaki interaksi atau kompatibilitas diantara pemerintah (public), swasta (private) dan masyarakat (community). Sedangkan secara mikro di dalam daerah yakni DPRD, Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah, Perngkat Daerah, dan komponen masyarakat serta swasta. Kompatibilitas tidak saja dapat dilakukan dengan komunikasi, negosiasi dan interaksi, tetapi juga dengan kepedulian mereka terhadap fungsi, misi dan tugasnya masing-masing.
VI.             PERLUNYA REFORMASI TATA  KELOLA
Dengan harapan dan mandat yang besar dari rakyat dan warisan kinerja makroekonomi yang membaik selama periode Megawati, pemerintah SBY-JK memiliki peluang emas untuk melakukan perubahan mendasar bagi Indonesia.

1.      Mengubah sumber pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh konsumsi menjadi digerakkan oleh investasi dan ekspor. Untuk itu diperlukan perbaikan iklim investasi dan mengembalikan kepercayaan dunia bisnis. Lemahnya perencanaan dan koordinasi peraturan perundangan, baik pada tingkat vertikal dan pada tingkat horizontal terus terjadi.
2.      Para birokrat dan pejabat di pusat maupun daerah masih berperilaku sebagai PREDATOR dan belum menjadi fasilitator bagi dunia bisnis. Ini tantangan terbesar SBY dan kabinetnya. Bila mau meningkatkan kinerja ekspor dan menumpas korupsi, maka disarankan: “membersihkan” jalan raya, pelabuhan, bea cukai, dan kepolisian dari berbagai bentuk grease money.
3.      Diperlukan rencana reformasi yang komprehensif dan berjangka menengah, setidaknya 5 tahun kedepan. Tiadanya GBHN dan LOI (letter of Intent) menuntut pemerintah untuk menjelaskan bagaimana arah perubahan yang akan ditempuh. Presiden SBY memang sudah menugaskan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas untuk menyusun perencanaan jangka menengah/panjang, namun hingga 100 hari pemerintahannya nampaknya belum diumumkan. Belajar dari perencanaan pembangunan nasional di masa lalu, setidaknya dikenal beberapa kecenderungan:
·         Belum dimasukkannya dimensi spesial dalam perencanaan pembangunan.
·         Pendekatan sektoral masih lebih menonjol dari pada regional
·         Belum dianutnya perencanaan antisipatif terhadap berbagai macam “gangguan” (disruption) baik karena alam maupun manusia.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
I.                   KESIMPULAN
FCGI (Forum for Corporate Governance in Indonesia) mendefinisikan tata kelola korporat (Corporate Governance) sebagai brerikut (Tjager et al, 2003:25-26) “seperangkat pengaturan yang mengatur hubungan antara pemegang, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengendalikan perusahaan. Tujuan tata kelola korporat ialah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).”

II.                SARAN
Dengan reformasi, diharapkan akan terjadi perubahan iklim investasi dan implementasi pembangunan di Indonesia. Hal tersebut perlu ditindak lanjuti dengan strategi dan langkah nyata. Semoga harapan perubahan yang diinginkan rakyat tidak hanya sekedar angin surge.




DAFTAR PUSTAKA
Kuncoro, Mudrajat. 2006. Strategi Bagaimana Meraih Keunggulan Kompetitif. Erlangga: Yogyakarta

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Good. Saya pake artikel ini buat referensi tugas kuliah saya. makasih