BAB
I
PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG
Tata
kelola korporat menjadi menarik perhatian karena banyak para ahli yang
berpendapat bahwa kelemahan dalam tata kelola korporat merupakan salah satu
sumber utama kerawanan ekonomi yang menyebabkan buruknya perekonomian beberapa
Negara Asia yang terkena krisis financial pada tahun 1997 dan 1998.
Proposisi
kepemilikan pihak publik untuk perusahaan-perusahaan yang listed di Bursa Efek Jakarta (BEJ) masih sangan terbatas, yang pada
tahun 1997 hanya sekitar 29,7%. Hal ini berarti bahwa para pendiri
perusahaan-perusahaan tersebu masih menjadi pemegang saham pengendali. Secara
umum fenomena adanya pemegang saham pengendali dan pemegang saham minoritas
(yang dapat menimbulkan agency problems)
dijumpai disebagian besar peusahaan-perusahaan tersebut.
Dalam
konteks administrasi pemerintah, fokus
analisis tata kelola adalah perdebatan mengenai keterbatasan
pengendalian oleh pemerintah (Kuncoro, 2004).
Berdasarkan
kajian-kajian tersebut di atas, maka penulis ingin mengetahui lebih jauh
tentang tata kelola korporat yang baik.
II.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang yang dikemukakan di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam
makalah ini, yaitu sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan
tata kelola (Governance)?
2.
Bagaiamana tentang tata kelola yang kuat dan yang lemah?
3.
Bagaimana analisis berbasis
biaya transaksi?
4.
Bagaimana tata kelola korporat di lingkungan BUMN?
5.
Bagaimana tata kelola di era
otonomi daerah?
6.
Apa penyebab kegagalan tata
kelola?
III.
TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dan
manfaat dari penulisan makalah ini,
yaitu sebagai berikut:
1.
Menjelaskan apa yang
dimaksud dengan tata kelola (Governance)
2.
Menerangkan tentang tata kelola
yang kuat dan yang lemah
3.
Menguraikan analisis berbasis
biaya transaksi
4.
Mendeskripsikan tata kelola
korporat di lingkungan BUMN
5.
Memahami tata kelola di era
otonomi daerah
6.
Menjelaskan penyebab
kegagalan tata kelola
BAB
II
PEMBAHASAN
TATA
KELOLA KORPORAT YANG BAIK
(GOOD CORPORATE
GOVERNANCE)
I.
PENGERTIAN GOVERNANCE
Pengertian “governance” amat beragam.
Pada dasarnya ia diartikan sebagai tata kelola yang berhubungan dengan
interaksi antara pemerintah dengan masyarakat. Sedangkan “ governing” berarti semua kegiatan sosial, ekonomi, ploitik, dan adminstratif
yang dilakukan sebagai upaya untuk mengarahkan, mengendlikan, mengawasi atau
mengelola masyarakat.
FCGI (Forum for Corporate Governance in Indonesia) mendefinisikan tata
kelola korporat (Corporate Governance)
sebagai brerikut (Tjager et al, 2003:25-26)
“seperangkat
pengaturan yang mengatur hubungan antara pemegang, pengurus (pengelola)
perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang
kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan
kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengendalikan
perusahaan. Tujuan tata kelola korporat ialah untuk menciptakan nilai tambah
bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).”
Tata
kelola korporat dapat didefinisikan dalam perspektif sempit (perspektif stakeholders), yaitu “struktur dimana
manajer pada berbagai tingkat organisasi dikendalikan melalui dewan direksi,
struktur yang berkaitan, insentif eksekutif dan skema lainnya” (Donaldson &
Davis dalam Tjager, 2003:26).
II.
TATA KELOLA YANG LEMAH vs TATA KELOLA YANG KUAT
Semua pemerintah di Negara-Negara
Asia Tenggara dan Asia Timur memulai proses industrialisasi dari rezim
otokrasi, kemudian secara bertahap bergerak kearah yang lebih demokrtis.
Indonesia mengalami transisi dari rezim yang tidak demokratis menuju rezim yang
semakin demokratis. Tingkat demokrasi di Indonesia dinilai sudah bergerak dari
A ke C, artinya dunia mengakui adanya perubahan penting dari rezim yang tidak
demokratis menuju sistem yang lebih demokratis. Namun dilihat dari sisi bahwa
tata kelola, harus diakui tata kelola pemerintah Indonesia masih tergolong
lemah dan belum banyak yang berubah.
Lemahnya tata kelola menimbulkan
dampak sebagai berikut (WB, 2001)
1.
Kaum
miskin tidak mendapatkan akses pelayanan publik yang dibutuhkan karena selalu
berkompromi dengan birokrasi yang korup.
2.
Para
investor takut dan enggan menanam modal di Indonesia karena ketidakmampuan
sistem peradilan untuk melaksanakan kontrak, meningkatnya kerusuhan, dan
tingkat pelanggaran hukum dan keamanan.
3.
Langkanya
sumber daya pemerintah ternyata hilang karena sistem manajemen keuangan dan
pengadaan barang yang tidak transparan, manipulasi dan banyak kebocoran.
Dalam praktiknya tidak mudah untuk memilih dan membedah
mengapa yang terjadi adalah tata kelola yang lemah dan kuat. Tabel berikut
mencoba mengurai kompleksitas, dinamika dan keanekaragaman tata kelola
(Kickert, 1993: Bab 19) yang tergantung dari interaksi antara pemerintah dan
masyarakat.
Kompleksitas, Dinamika, dan Keanekaragaman Tata Kelola
|
do-it-alone ”government”
|
“co” -arrangement
|
Kompleksitas
|
·
Hubungan
sebab-akibat
·
Ketergantungan
unilateral
·
Dibagi
dalam hal unit atau disiplin
|
·
Keseluruhan
dan sebagian
·
Saling
ketergantungan multidimensional
·
Menangani
jaringan komunikasi
|
Dinamika
|
·
Lineritas
dan produktabilitas
·
Kontinu
dan berubah-ubah
·
Penggunaan
mekanisme feed-forward
|
·
Pola
nonlinier dan Chaos.
·
Tidak
kontinu dan tidak berubah-ubah
·
Penggunaan
mekanisme feed-while/feed-back
|
Keanekaragaman
|
·
Pendekatan/analisis
berdasarkan rata-rata
·
From rules to execption
|
·
Analisis
situasional dan diskrit
·
from exception to rules
|
III.
ANALISIS BERBASIS BIAYA TRANSAKSI
Hadiah Nobel dalam Ilmu Ekonomi tahun
1991 kepada Ronald Coase merupakan tonggak penting pengakuan Internasional
terhadap jasa-jasanya dalam mengembangkan Analisis Biaya Transaksi (ABT). Ciri
sentral analisis coase dapat disimak dari definisinya mengenai biaya transaksi
berikut ini (Coase, 1960):
Untuk melakukan suatu transaksi
pasar, diperlukan identifikasi dengan
siapa seseorang bertransaksi, menginformasikan kepada masyarakat bahwa
seseorang ingin berusaha beserta persyaratan yang dipenuhi, melakukan negosiasi
hingga penawaran, menulis kontrak, melakukan pemeriksaan yang diperlukan untuk
meyakinkan bahwa syarat-syarat kontrak telah diikuti dan sterusnya.
Coase percaya bahwa biaya transaksi
tidak hanya mempengaruhi penyususnan kontrak tetapi juga mempengaruhi barang
dan jasa yang diproduksi (Coase, 1995). Argumennya, adanya biaya transaksi akan
mendorong munculnya perusahaan. Pertanyaan “bagaimana memproduksi” dan “apa
yang diproduksi”mencakup pertimbangan baiaya transaksi.
Kelemahan dari analisis Coase telah
diidentifikasi oleh banyak penulis, diantaranya oleh Dietrich (Dietrich, 1994:
16-18), yaitu sebagai berikut:
1.
Masalah
sentralnya adalah kurangnya kerangka teoritis yang mendalam
2.
Analisis
Coase dinilai tidak konsisten karena perusahaan dan pasar merupakan metode
alternatif dalam mengoordinasikan produksi.
Ciri utama perusahaan adalah manajemen proses produksi
dan distribusi, sedangkan pasar tidak dapat memproduksi namun hanya
menghubungkan antara unit produksi dan konsumsi.
Tesis utama paradigma ABT adalah bahwa ada berbagai cara
mengorganisasi transaksi, ini diasosiasikan dengan berbagai biaya (Knudsen,
1995: 198). Williamson mengikuti definisi Arrow mengenai biaya transaksi
sebagai biaya menjalankan sistem ekonomi. Secara lebih khusus, biaya transaksi
mencakup baik biaya langsung (direct
costs) dari menjaga hubungan dan kemungkinan biaya opportunitas (opportunity costs) dari terbuatnya
keputusan yang inferior (Williamson, 1990; Williamson, 1996). Yang pertama atau
sering dibuat biaya transaksi belum terjadi (ex-ante transaction costs), terdiri atas biaya menyusun konsep
kesepakatan, negosisi dan penjagaan (Williamson, 1985: 20). Yang kedua merupakan
beiaya transaksi yang telah terjadi (ex-post
transaction costs) yang meliputi:
1.
Biaya
salah adaptasi (maladaptation costs)
yang terjadi ketika transaksi menyimpang dari yang disyaratkan.;
2.
Biaya
tawar-menawar (haggling costs) yang
terjadi bila upaya bilateral dilakukan untuk mengoreksi kesalahan yang terjadi;
3.
Biaya
penyusunan dan pengelolaan (set up and
running costs) yang diasosiasikan denga struktur tata kelola di mana
perselisihan diidentifikasi;
4.
Biaya
pengikatan (bonding costs) yang
mempengaruhi penjagaan komitmen (Williamson, 1985: 21).
Biaya-biaya di atas terkait langsung dengan spesifik
asset, ketidak pastian lingkungan, dan ketidakpastian perilaku.
IV.
TATA KELOLA KORPORAT DI LINGKUNGAN BUMN
Berkaitan dengan good coporate governance (GCG) di lingkungan BUMN, penerpannya
merujuk pada Keputusan Menteri BUMN No. 117/M-MBU/2002. Keputusan yang bersifat
sektoral seperti ini termasuk berbagai peraturan Bapepam untuk emiten-emiten di
pasar modal tidak memiliki pertentnagan dengan kerangka hukum.
Penerapan GCG dalam suatu organisasi
dinilai merupakan suatu usaha untuk membangun budaya korporasi yang baru, sehingga
tanpa kepemimpinan oranisasi yang memadai akan sangat sulit mengimplementasikan
GCG.
Penerapan GCG bukanlah suatu opsi
melainkan sebuah kaharusan bagi BUMN Indonesia. Penerapan GCG di BUMN akan
bermanfaat baik bagi Negara dalam hal menurunkan tingkat country risk maupun bagi setiap BUMN dalam hal meningkatkan nilai
perusahaan.
Penerapan GCG berarti penolakan
terhadap nilai-nilai, keyakinan, asumsi-asumsi dasar lama yang berciri tidak
adanya transparansi, tidak adanya kewajaran (fairness), tidak adanya akuntanbilitas dan tanggung jawab yang
jelas.
Pada bulan Mei 2001 para pejabat dan
staf pemerintah pusat dan daerah meyetujui bebrapa prinsip tata kelola yang
baik yang perlu diterapkan di Indonesia. Prinsip tersebut adalah (Mishra, et
al. 2001: 23):
1.
Partisipasi
2.
Penegakan
hukum
3.
Transparansi
4.
Responsif
5.
Pemerataan
6.
Visi
stratejik
7.
Efektivitas
dan Efisiensi
8.
Profesionalisme
9.
Akuntabilitas
10.
Pengawasan
V.
TATA KELOLA DI ERA OTONOMI DAERAH
Salah satu isu yang banyak dibahas dalam
era otonomi daerah adalah tata kelola yang baik diimplementasikan dalam praktik
birokrasi di Indonesia. Dalam implementasi otonomi daerah diberbagai daerah di
Indonesia, beberapa kecenderungan yang menyedihkan adalah:
1.
Kuatnya
semangat memungut retribusi, pajak maupun pungutan lainnya dengan kurang
memperhatikan pelayanan publik secara optimal.
2.
Rendahnya
akuntabilitas pemerintah daerah maupun DPRD
(Syaukani, Gaffar, & Rasyid, 2002). Praktik bad governance, tata kelola yang buruk,
lebih mencuat kepermukaan dan menjadi wacana publik.
Utomo (2005, 16-17) melihat tata kelola dari sisi makro
dan mikro. Tata kelola di dalam rangka otonomi secara makro menghendaki
interaksi atau kompatibilitas diantara pemerintah (public), swasta (private)
dan masyarakat (community). Sedangkan
secara mikro di dalam daerah yakni DPRD, Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah,
Perngkat Daerah, dan komponen masyarakat serta swasta. Kompatibilitas tidak
saja dapat dilakukan dengan komunikasi, negosiasi dan interaksi, tetapi juga dengan
kepedulian mereka terhadap fungsi, misi dan tugasnya masing-masing.
VI.
PERLUNYA REFORMASI TATA KELOLA
Dengan harapan dan mandat yang besar
dari rakyat dan warisan kinerja makroekonomi yang membaik selama periode
Megawati, pemerintah SBY-JK memiliki peluang emas untuk melakukan perubahan
mendasar bagi Indonesia.
1.
Mengubah
sumber pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh konsumsi menjadi digerakkan oleh
investasi dan ekspor. Untuk itu diperlukan perbaikan iklim investasi dan
mengembalikan kepercayaan dunia bisnis. Lemahnya perencanaan dan koordinasi
peraturan perundangan, baik pada tingkat vertikal dan pada tingkat horizontal
terus terjadi.
2.
Para
birokrat dan pejabat di pusat maupun daerah masih berperilaku sebagai PREDATOR
dan belum menjadi fasilitator bagi dunia bisnis. Ini tantangan terbesar SBY dan
kabinetnya. Bila mau meningkatkan kinerja ekspor dan menumpas korupsi, maka
disarankan: “membersihkan” jalan raya, pelabuhan, bea cukai, dan kepolisian
dari berbagai bentuk grease money.
3.
Diperlukan
rencana reformasi yang komprehensif dan berjangka menengah, setidaknya 5 tahun
kedepan. Tiadanya GBHN dan LOI (letter of
Intent) menuntut pemerintah untuk menjelaskan bagaimana arah perubahan yang
akan ditempuh. Presiden SBY memang sudah menugaskan Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas untuk menyusun perencanaan jangka
menengah/panjang, namun hingga 100 hari pemerintahannya nampaknya belum
diumumkan. Belajar dari perencanaan pembangunan nasional di masa lalu,
setidaknya dikenal beberapa kecenderungan:
·
Belum
dimasukkannya dimensi spesial dalam perencanaan pembangunan.
·
Pendekatan
sektoral masih lebih menonjol dari pada regional
·
Belum
dianutnya perencanaan antisipatif terhadap berbagai macam “gangguan” (disruption) baik karena alam maupun
manusia.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
I.
KESIMPULAN
FCGI (Forum for
Corporate Governance in Indonesia) mendefinisikan tata kelola korporat (Corporate Governance) sebagai brerikut
(Tjager et al, 2003:25-26) “seperangkat pengaturan yang mengatur hubungan
antara pemegang, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah,
karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang
berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu
sistem yang mengendalikan perusahaan. Tujuan tata kelola korporat ialah untuk
menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).”
II.
SARAN
Dengan reformasi, diharapkan akan terjadi perubahan
iklim investasi dan implementasi pembangunan di Indonesia. Hal tersebut perlu ditindak
lanjuti dengan strategi dan langkah nyata. Semoga harapan perubahan yang
diinginkan rakyat tidak hanya sekedar angin surge.
DAFTAR
PUSTAKA
Kuncoro, Mudrajat. 2006. Strategi Bagaimana Meraih Keunggulan Kompetitif. Erlangga:
Yogyakarta
1 komentar:
Good. Saya pake artikel ini buat referensi tugas kuliah saya. makasih
Posting Komentar